Inilah Alasan Kenapa Presiden Kita Selalu Dari Suku Jawa

Hello to old and new friends, alike. Welcome to my new blog!

Inilah Alasan Kenapa Presiden Kita Selalu Dari Suku Jawa - Pernahkah terlintas sebuah pertanyaan dalam pikiran Sobat tentang "kenapa presiden RI selalu berassal dari Suku Jawa. Kalo pernah berarti sama dengan saya. hehehe......... Kemudian saya browsing dan menemukan artikel ini. Maaf, saya tidak bermaksud mendiskreditkan Suku lain, karena suku lainpun berkontribusi besar dalam pemerintahan Negara RI ini. Dan pahlawan dari Suku lainpun tidak terhitng jumlahnya serta jasa-jasanya selalu kita kenang. Langsung aja simak ulasannya yaaaa.....

Konon menurut ramalan dari Joyoboyo (raja Kadiri yang memerintah sekitar tahun 1135-1157), bakal pemimpin negeri ini adalah memiliki initial nama “notonegoro” atau “no-to-no-go-ro”, bila diartikan secara sederhana menunjukan bahwa yang bakal menjadi presiden itu “harus” orang Jawa. Hal ini nampaknya tidak berlebihan bila ternyata yang jadi presiden sebagai pemenang pemilu adalah: “Soekarno”, “Soeharto” dan “Yudoyono”, Adapun Habibie, Gusdur dan Megawati, adalah presiden yang dipilih akibat dari peralihan saja. 

Namun demikian hampir dari semuanya mereka adalah berasal dari orang Jawa, Hal ini tentunya tidak berlebihan karena menurut data statistik pun jumlah penduduk Indonesia itu hampir separuhnya lebih adalah suku Jawa, sehingga peluang/probabilitasnya sangat besar dibandingkan yang lainnya, Apalagi sekarang dipilih secara langsung oleh rakyat.

Di balik itu semua, bila melihat kembali ke Sejarah Bangsa nampaknya hampir seluruh Pemimpin Bangsa ini cara kepemimpinannya merujuk kepada falsafah dari Gadjah Mada, yang terkenal dengan “Sumpah Palapa”nya (tahun 1331), Dan gaya kepemimpinannya pun nampaknya tidak lebih adalah merupakan ‘reinkarnasi’ dari cara kepemimpinan seorang Patih Gadjah Mada.

Bila dilihat secara garis besar, kaidah kepemimpinan Gadjah Mada dapat diklasifikasikan menjadi tiga dimensi, yaitu: Spiritual, Moral, dan Manajerial. 

Dimensi Spiritual terdiri dari tiga prinsip, yaitu:
1. Wijaya: tenang, sabar, bijaksana;
2. Masihi Samasta Bhuwana: mencintai alam semesta; dan
3. Prasaja: hidup sederhana.

Dimensi Moral terdiri dari enam prinsip, yaitu:
1. Mantriwira: berani membela dan menegakkan kebenaran dan keadilan;
2. SarJawa Upasama:rendah hati;
3. Tan Satrsna:tidak pilih kasih;
4. Sumantri:tegas, jujur, bersih, berwibawa;
5. Sih Samasta Bhuwana:dicintai segenap lapisan masyarakat dan mencintai rakyat;
6. Nagara Gineng Pratijna:mengutamakan kepentingan negaradi atas kepentinganpribadi, golongan,       dan keluarga.

Dimensi Manajerial terdiri dari sembilan prinsip, yaitu:
1. Natangguan:Mendapat dan menjaga kepercayaan dari masyarakat;
2. Satya Bhakti Prabhu:loyal dan setia kepada nusa dan bangsa;
3. Wagmiwag:pandai bicara dengan sopan;
4. Wicaksaneng Naya:pandai diplomasi, strategi, dansiasat;
5. Dhirotsaha:rajin dan tekun bekerja dan mengabdi untuk kepentingan umum;
6. Dibyacitta:lapang dada dan bersedia menerimapendapat orang lain;
7. Nayaken Musuh:menguasai musuh dari dalam dan dari luar;
8. Ambek Paramartha:pandai menentukanprioritas yang penting;
9. Waspada Purwartha:selalu waspada dan introspeksi untuk melakukan perbaikan.

Prinsip-prinsip tersebut dijadikan sebagai sumber dari filsafat dan "way of life" yang diyakininya. Dan mencerminkan spiritualitas Jawa yang bersifat holistic spirituality, yang memberikan inspirasi pandangan hidup pada Gadjah Mada. 

Kenapa Orang Tatar Sunda Tidak Mau dibilang Jawa ?

Ketika saya bepergian keluar negara dari Indonesia, atau bahkan pergi keluar pulau Jawa seperti ke Bali, Sumatera atau Kalimantan, orang akan memanggil saya sebagai orang Jawa. Itu dikarenakan memiliki KTP Bandung yang memang terletak di Pulau Jawa, Padahal, bagi masyarakat di pulau Jawa bagian Barat atau lebih dikenal dengan propinsi Jawa Barat, mereka tidak bisa disebut sebagai ‘orang Jawa’ atau berasal dari ‘suku Jawa’. Penduduk di provinsi ini lebih dikenal dengan sebutan ‘orang Sunda’ atau ‘suku Sunda’, Sementara daerahnya sering terkenal dengan sebutan ‘Tatar Sunda’, PaSundan,atau ‘Bumi Parahyangan’ dengan Bandung sebagai pusatnya.

Kultur Budaya Suku Sunda atau masyarakat Sunda merupakan mayoritas penduduk Jawa Barat. Dalam catatan sejarah, pada tahun 1851 suku Sunda sudah merupakan penduduk terbesar di Jawa Barat yang berjumlah 786.000 jiwa. Pada tahun 2008, suku Sunda diperkirakan berjumlah lebih kurang 34 juta jiwa. Secara fisik sulit dibedakan antara orang Sunda dan orang Jawa yang sama-sama mendiami Pulau Jawa. Perbedaan yang nampak sebagai penduduk Pulau Jawa, akan tampak jelas ditinjau dari segi kebudayaannya, termasuk bahasa, jenis makanan yang disukai dan kesenian yang dimiliki.

Berbeda dengan ‘suku Jawa’ yang mayoritas hidup di daerah Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur, suku Sunda tidak menggunakan bahasa Jawa tetapi bahasa ‘Sunda’. Bahasa Jawa dan bahasa Sunda jelas memiliki perbedaan yang signifikan. Selain memang mempunyai perbedaan ejaan, pengucapan dan arti, bahasa Jawa lebih dominan dengan penggunaan vocal ‘O’ diakhir sebuah kata baik itu dalam pemberian nama orang atau nama tempat, seperti Soekarno, Soeharto, Yudhoyono, Purwokerto, Solo dan Ponorogo. Sementara bahasa Sunda lebih dominant berakhiran huruf ‘A’ seperti Nana Sutresna, Wiranata, Iskandar Dinata, Purwakarta dan Majalaya.

Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, suku Sunda dikenal sebagai masyarakat yang senang memakan sayuran atau daun-daunan sebagai ‘lalaban’ (sayuran yang dimakan mentah-mentah dengan sambal). Bagi orang Sunda, dedaunan dan sambal merupakan salah satu menu utama setiap makan selain tentunya lauk pauk lain seperti ikan dan daging. Selain kebudayaan dan makanan, salah satu karakteristik orang Sunda adalah terkenal dengan karakternya yang lembut, tidak ngotot dan tidak keras. Mereka bersikap baik terhadap kaum pendatang atau dalam bahasa Sunda ‘someaah hade ka semah’. Karena sifat inilah tak heran kalau penetrasi agam Islam ke daerah Sunda ketika pertama kali Islam datang, sangat mudah diterima oleh suku ini. 

Sebagaimana mayoritas penduduk Indonesia, Islam merupakan agama mayoritas orang Sunda. Yang membedakannya, kelekatan (attachment) orang Sunda terhadap Islam dipandang lebih kuat dibanding dengan orang Jawa pada umumnya. Meskipun tentunya tidak sekuat orang Madura dan Bugis di Makassar. Karena karakternya yang lembut banyak orang berasumsi bahwa orang Sunda ‘kurang fight’, kurang berambisi dalam menggapai jabatan. Mereka mempunyai sifat ‘mengalah’ daripada harus bersaing dalam memperebutkan suatu jabatan. Tidak heran kalau dalam sejarah Indonesia, kurang sekali tokoh-tokoh Sunda yang menjadi pemimpin di tingkat Nasional dibandingkan dengan Orang Jawa. Contohnya, tidak ada satupun presiden Indonesia yang berasal dari suku Sunda, Bahkan dari sembilan orang wakil presiden yang pernah menjabat sejak zaman Presiden pertama Soekarno sampai sekarang Presiden Joko Widodo, hanya seorang yang berasal dari suku Sunda yaitu Umar Wirahadikusuma yang pernah menjabat sebagai wakil presiden di zaman Presiden Soeharto.

Bila dilihat dari unsur sosial dan budaya seperti tersebut di atas, orang dari tatar Sunda memang tidak sama dengan Jawa, sehingga dengan demikian walaupun tinggal di satu pulau, tetap saja tidak bisa disamakan. Namun nampaknya faktor alam yang “lohjinawi” itulah yang membentuk karakter dan kepribadianseperti itu, sehingga membentuk kultur budaya dan perilaku yang membedakan dengan orang Jawa. 

Perang Babat

Perang Bubat.Adalah perang yang kemungkinan pernah terjadi pada masa pemerintahan raja Majapahit, Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gadjah Mada. Persitiwa ini melibatkan Mahapatih Gadjah Mada dengan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat pada abad ke-14 di sekitar tahun 1360 M. 

Peristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmidari Negeri Sunda. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit; yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu, yang bernama Sungging Prabangkara. 

Namun catatan sejarah Pajajaran yang ditulis Saleh Danasasmita dan Naskah Perang Bubat yang ditulis Yoseph Iskandar menyebutkan bahwa niat pernikahan itu adalah untuk mempererat tali persaudaraan yang telah lama putus antara Majapahit dan Sunda. Raden Wijaya yang menjadi pendiri kerajaan Majapahit, dianggap keturunan Sunda dari Dyah Lembu Taldan suaminya yaitu Rakeyan Jayadarma, raja Kerajaan Sunda. Hal ini juga tercatat dalam "Pustaka Rajyatajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3".

Dalam Babad Tanah Jawi, Raden Wijaya disebut pula dengan nama Jaka Susuruh dari Pajajaran. Hayam Wuruk memutuskan untuk memperistri Dyah Pitaloka. Atas restu dari keluarga kerajaan, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamarnya. Upacara pernikahan dilangsungkan di Majapahit.

4 komentar:

  1. Pada dasarnya. Sejarah majapahit memang mentakdirkan jawa untuk menjadi pemimpin Indonesia. Dikarenakan tingkat kesabaran dan pertimbangan dari kecermatan berpikir serta intonasi bicara lebih santai dan Legowo. Walaupun saya berasal dari Kalimantan gelar kerjaan pun saya tetap memakai Gusti dari ibu saya. Entahlah mengapa gelar tersebut masih dipakai seluruh nusantara bagi keturunan bangsawan Jawa.

    Kestabilan berpikir dan mengedepankan kepentingan negara memang sudah terbukti dari Presiden Soekarno dan Soeharto.

    Dan dalam kutipan film g 30s PKI pun terdapat kutipan. " Jawa Kuncinya ".

    BalasHapus
  2. jangan berpatokan pada film propaganda. Suku Indonesia itu ada banyak kenapa harus itu-itu terus, cobalah orang papua, bugis, minang, aceh dan suku lainnya menampuk pimpinan tertinggi di Negeri ini mungkin bisa berubah

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya juga berharap ada anak negeri dari suku lain yang bisa memimpin indonesia kang

      Hapus
  3. nata negara itu menata atau memimpin negara. kirang luwih ipun mekaten

    BalasHapus

Berkomentarlah dengan sopan
Anda sopan kami segan

Copyright © Pa Mitra. All rights reserved. Template by CB. Theme Framework: Responsive Design